Cerpen mini ini pernah dimuat di Percikan Gadis
Akhirnya aku punya pacar! Rasanya aku pengen
teriak ke semua penjuru arah, biar semua tahu kalau aku sudah laku. Aku bukan
lagi jomblo permanen seperti kata teman-teman sekelasku.
Sebagai seorang cewek, aku nggak termasuk buruk
rupa kok, malah tergolong cantik—kata Mama. Makanya aku sedikit pemilih soal
cowok, aku mengidamkan yang tampan dan mulus kayak cowok-cowk Korea. Tapi
standar-ku yang terlalu tinggi itu malah bikin awet ngejomblo.
Rani adalah salah satu yang paling shock pas denger kabar kalau aku punya
pacar, dia menghampiriku ketika aku baru masuk kelas.
“Beneran kamu punya pacar?” tanya Rani. Air mukanya
nggak percaya. Rasnya aku menahan diri untuk tidak tertawa.
“Tentu saja, cowokku ganteng banget malah.” Aku
berlagak membenahi poniku.
“Aku nggak percaya,” sahut Rani. Selama ini,
Rani memang yang paling gencar memberiku penghargaan sebagai ratu kejombloan
sejagat, kalau aku punya pacar dia nggak punya bahan olokan lagi. Tapi
sepertinya cukup sampai di sini, karena nyatanya sekarang aku sudah pacar.
Aku meraih ponsel pintar dari dalam tas, lalu
membuka akun facebookku dari sana. Kuperlihatkan status hubunganku sudah
berpacaran. Kulihat Rani sudah megap-megap kayak ikan Lohan.
Nama akun facebook-nya Fredy Harsongko. Aku nge-add facebooknya sekitar tiga bulan
lalu. Aku tertarik dengan ketampanan foto profil yang dipajang di akunnya. Dia
juga rajin upload foto selfie dengan berbagai pose, dan semua
sungguh membuatku terpesona. Sejak saat itu, aku bertekat untuk mendekatinya.
Dan siapa sangka pendekatan itu berhasil? Dalam
watku singkat, hubungan kami makin dekat. Berawal dari chatting facebook, lalu
merambat ke berbagai macam jejaring sosial yang lain. Lewat whatsapp, Line,
bahkan instagram. Kedekatan kami mencapai klimaks saat pada akhirnya Fredy
nembak aku seminggu lalu, dia menyatakan cintanya dengan mengirimkan gambar bunga
mawar merah ke kronologiku. Meskipun tidak pernah bertemu, aku tidak ragu untuk
menerima cintanya. Jadian sekarang, ketemu bisa belakangan.
“Aku pengen ketemu,” kataku saat dia menelpon.
Aku sedikit ngambek karena dia selalu menghindar saat aku memintanya datang ke
rumahku. Padahal kami tinggal di kota yang sama.
“Aku belum siap, nih. Pasti nanti aku bakal
gugup banget.” Itu alasan yang basi. Fredy selalu memberikan alasan yang sama
tiap aku mendesaknya.
“Kalau tetep nggak mau ketemu, kita putus
saja.”
“Jangan dong! Oke, oke… besok di café Van Java.”
Ancamanku ternyata berhasil. Aku sudah tidak
sabar bertemu dengan pacar pertamaku ini.
Besoknya, aku sudah memakai baju terbaikku saat
menunggunya di café Van Java. Aku duduk di bangku paling depan, dekat dengan
pintu masuk agar Fredy mudah mencariku. Tapi Fredy tidak kunjung datang hingga
aku menghabiskan dua cangkir kapucino. Aku mulai risih karena duduk sendiri di
café, terlebih dengan tatapan intens dari seorang cowok asing di seberang
mejaku. Aku membuang muka, enggan ditatap oleh cowok berkaos merah yang
wajahnya ditumbuhi banyak jerawat sebesar biji jagung.
Kuketuk-ketukkan kaki ke lantai ketika mencoba
menghubungi nomer Fredy. Diangkat.
“Kamu di mana?” tanyaku mulai nggak sabar.
“Aku ada di seberang mejamu sejak tadi. Sori
aku gugup, jadi nggak berani nyamperin.”
Ha? Jadi Fredy sudah datang dari tadi? Aku
menatap sekeliling, “Kamu di mana, sih?”
“Persis di seberang mejamu. Aku pakai kaos
merah.”
Mendadak cowok pemilik jerawat sebesar biji
jagung itu melambai ke arahku, sebelah tangannya masih menahan ponsel di
telinga.
Aku menelan ludah. Rasanya aku sudah jadi
korban, yang tertipu oleh ketampanan foto profil yang entah itu hasil edit,
atau camera 360.
Siapa itu Fredy Harsongko!
BalasHapus