Cerpen ini dimuat di majalah Hai, Desember 2014
Kalau sekarang muka gue bonyok, bibir gue robek dan
kening gue berdarah, itu sama sekali nggak masalah. Gue nggak pernah takut sama
siapapun di sekolah ini. Si Bima yang punya badan dua kali lipat gue sekalipun, gue nggak takut.
Nggak pernah ada gentar meski si bongsor itu mendadak ngajak gue duel buat
ngerebutin bakwan yang tinggal sebiji di kantin.
Jangan salah, itu bukan sekadar rebutan isi perut
yang nggak penting, tapi soal harga diri. Bayangin, tuh bakwan udah hampir
masuk bibir gue sebelum Bima mendadak ngerebut gorengan itu dan langsung
masukin ke mulutnya. Menyunyahnya
dengan kasar, sementara matanya yang bulat kayak bola pingpong itu melotot ke
arah gue seakan meledek. Nggak salah dong kalau gue emosi,
gue bahkan rela ngerohoh mulutnya demi ngerebut kembali hak gue. Sesuai dugaan,
Bima langsung mengamuk dan tentu
saja tawur pun nggak bisa dihindari.
“Lo berani sama gue?” Bima narik kerah baju gue. Gue yang lebih pendek darinya pun sampai berjinjit
saking kuatnya dia. Tenang, jangan khawatir karena gue ‘sedikit’ lebih kuat— tapi banyakan dia. Tapi sebagai lelaki sejati, gue tetep hempasin
tangan Bima dan menyelesaikan masalah ini dengan cara ‘lelaki’.
***
***
Well, sebenernya gue lebih milih ngebiarin
bibir gue robek daripada musti diobatin tapi sambil diomelin sama cewek yang
kayaknya punya stok bibir lebih dari satu. Heran, Devi nggak ada capeknya
ngomel sambil nempelin plester di muka gue. Bawelnya, demi Tuhan bikin gue pengen ngeremukin batako pakai gigi.
“Kamu nggak bisa ya sehari aja nggak tawur. Bosen
aku liat muka kamu babak belur gini. Udah tampang pas-pasan, makin minus aja.” Devi sesekali menekan
luka lebamku keras-keras. Sial, sepertinya dia sengaja. Gue mengaduh, sengaja dengan suara keras dan
raut penuh pendramatisiran. Tapi kayaknya Devi nggak peduli. Cewek itu malah
menyeringai lalu menyahut. “Sukurin!” dengan nada nikmat.
Gue mendengus. Bola mata gue berputar tiap kali Devi mengoceh lagi. “Ini bukti kalo gue lelaki sejati.” Gue meringis, dan Devi menekan lebam di pipi gue
lebih keras dari sebelumnya.
“Dasar anak badung. Nyesel aku jadian sama kamu.”
Gue terbatuk, keselek
ludah gue sendiri. Setelahnya, gue buru-buru ngebenerin kerah dan mandang Devi
dengan tatapan cool, “Bakal lebih nyesel kalo
pisah dari gue pastinya.” Gue mengedipkan sebelah
mata lalu nyengir ala kuda. Lengan gue langsung dicubit Devi. Sakit, tapi gue senang nerimanya.
Sebisa mungkin gue nahan diri biar nggak ngakak pas liat ada semu merah di pipi bulat Devi. Itu manis sekali.
***
Sebisa mungkin gue nahan diri biar nggak ngakak pas liat ada semu merah di pipi bulat Devi. Itu manis sekali.
***
Sekali lagi gue
jelasin, nggak ada yang gue takutin di seantero sekolah. Nggak guru BP, nggak wali kelas atau
kepala sekolah sekalipun. Saat berita keributan di kantin tadi terendus sampai
kepala sekolah, gue dan Bima pun langsung dipanggil ke ruang guru buat disidang. Saat sampai di ruang guru, Bima sudah duduk
tegang berhadapan dengan Pak Kepala sekolah. Gue nggak nunggu dipersilahkan
buat duduk di sebelah Bima. Gue
sedikit melirik ke arah Bima, berkali-kali dia menelan
ludah susah payah. Kelihatan banget kalau dia takut sama kepala sekolah. Dasar
cemen. Gue aja masih sempat ngupil meski dipelototin tanpa kedip sama pak
kepsek.
“Bima dan Ragiel, lagi-lagi kalian berulah...” Pak kepala sekolah—atau juga biasa dipanggil
Pak Karim mendesah panjang. Mata lebarnya makin lebar saat memandang kami. Bima
tertunduk. Muka sangarnya menghilang entah ke mana. Cowok itu saat ini nggak
lebih dari itik tanpa nyali. Cuma dipelototi saja bikin Bima sampai tegang
begini.
“Ma-maafkan kami, Pak. Sungguh, maafkan kami. Kami janji nggak bakal
ngulani perbuatan kami.”
Yang bikin gue heran, kenapa Bima jadi sebegitu cemennya kalau di depan
Pak Karim. Bahkan cowok bongsor itu berkali-kali terlihat meremas pahanya
sendiri. Barangkali untuk meredam ketakutannya. Seingatku, Bima juga pernah
disidang di ruang guru, meski saat itu yang berperan sebagai hakim adalah pak
Sirin, dan Bima sama sekali tidak menunjukan tanda-tanda ketakutan. Berebeda
sekali dengan hari ini, 15 menit di ruang guru gue sama sekali nggak bisa
percaya kalau yang duduk sambil memohon maaf pada kepala sekolah adalah Bima.
“Baiklah, kali ini Bapak maafkan. Tapi kalian masih harus dihukum. Gosok
seluruh toitet sekolah!”
Dieng!
Rasanya gue lemes mandadak. Apalagi gosok toitetnya bareng sama Bima,
musuh bebuyutan gue. Tapi apalah daya, gue nggak punya pilihan lain.
Jadi siang itu, gue dan Bima bebas dari pelajaran gara-gara titah
ngegosok lantai seluruh toitet sekolah. Bima nggak ngomong apapun saat ngegosok
lantai di toilet.
“Nggak nyangka kalo lo secemen itu.” Gue sengaja tertawa dengan suara
keras. Sengaja kupancing emosi Bima agar dia nggak terus menerus diam.
“Hah, terserah lo mau ngomong apa.”
Di luar dugaan, Bima masih saja khusuk dengan kegiatannya, menyikat
lantai keramik sampai keringatnya bercucuran sampai ke leher. Rasanya gue
pengen nyanyi lagunya Ariel dengan suara kenceng, ‘Ada apa denganmu?’
Tapi, ah… sepertinya ini lebih serius dari yang gue bayangin.
“Lo kok jadi aneh gini? Kalau gue nantang duel lagi gimana?” tanya gue.
“Ah, nggak mau gue.” Bima menggeleng kuat.
Gue merengut, makin merasa ada yang nggak beres. “Kenapa?”
“Selama ini gue kira kepala sekolah diam karena nggak peduli.”
“Maksud lo?”
“Asal lo tau aja, Pak Karim itu temen kuliah Mama. Tadi sebelum lo
dateng ke ruang guru, pak kepsek sempet ngancem bakal ngaduin kelakuan gue sama
Mama. Dan lo tau apa artinya itu? Uang jajan gue bakal dipangkas!”
***
Yang gue sadari, semua orang emang punya rahasia. Termasuk Bima yang
ternyata masih bisa menciut hanya karena ancaman sepele. Di kamar mandi tadi,
Bima juga sudah memohon agar gue nggak sampai cerita pada siapa pun soal
kejadian di ruang guru tadi. Gue setuju bukan berarti gue kasian apalagi patuh
sama permintaan Bima, gue nggak cerita sama siapa pun karena gue cowok, anti
punya mulut ember. Di sisi lain, gue juga ngerti posisi Bima karena gue juga
punya rahasia.
Gue menarik napas dan menahannya sejenak di perut. Gue melangkah
berjingkat setelah menutup pintu ruang tamu. Gue melangkah tanpa suara menuju
kamar, tapi sebuah suara menahan rencana sepasang kaki gue buat melesat menuju
kamar di lantai dua.
“Lho? Ragiel sayang… udah pulang?” Suara Mami gue yang gemulai, selalu
bikin gue nggak nyaman, tapi gue nggak berdaya. Gue memutar kepala dengan
gerakan patah-patah hingga menatap Mami yang masih mengenakan apron biru. Ada
aroma sedap dari tubuhnya, sepertinya Mami belum selesai memasak.
“I-iya, Mami.”
Mami tersenyum menghampiriku, lalu mengecup keningku. Jadi anak tunggal
itu nggak selamanya menyenangkan. Gara-gara jadi anak tunggal, Mami selalu
memperlakukan gue seperti balita. Jika menolak? Gonjang-ganjing dunia ini.
Gue nggak lebay, sungguh. Gue masih ingat pertama kali masuk SMA dulu,
gue menolak kecupan Mami, dan wanita itu langsung ngambek. Nggak mau masak,
nggak mau nyuci, nggak mau beres-beres rumah, nggak mau ngasih uang jajan dan
akhirnya gue cuma bisa memohon agar Mami mau ngecup kening gue lagi. Seperti
biasanya. Dan gue harap, nggak bakal ada satu orang pun tahu soal satu rahasia
ini.
0 komentar:
Posting Komentar